Halo! Selamat datang di asbak saya :)

Selasa, 19 Agustus 2014

Kenapa minta maaf?



Hari ini saya membaca status teman saya dari Australia yang kebetulan sedang tinggal di Indonesia bahwa ponselnya dicuri di kereta api. Saya rasa ini bukan hal yang mengejutkan bagi mereka yang sudah mengenal situasi dan kondisi kereta api di Indonesia. Saya salah satu yang tidak terkejut. Akan tetapi yang membuat saya terkejut adalah ketika ada satu orang Indonesia berkomentar dan meminta maaf kepada teman saya atas apa yang telah menimpa dirinya. Saya bertanya-tanya, minta maaf untuk apa? Karena kata “minta maaf” dalam Bahasa Indonesia apabila diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, artinya bukan “I am sorry” tetapi “I apologize”. Dan yang saya pertanyakan adalah “What for?”. Saya rasa alasan yang baik untuk memintamaaf adalah apabila dia orang yang mencuri ponsel teman saya, tetapi saya meragukan bahwa dia adalah si pencuri ponsel. Artinya, orang ini meminta maaf atas hal buruk yang terjadi kepada orang “bule” di negaranya. Tetapi ini belum betul-betul menjawab pertanyaan saya, untuk apa? 
 
Kemudian saya mencoba mengingat-ingat kembali kejadian serupa, yaitu tentang blog yang ditulis orang bule yang tinggal di Bandung mengenai keluhannya terhadap sistem pembuangan sampah di Bandung. Mengeluh atau mengkritik, tentu tidak masalah. Tetapi yang membuat banyak orang tersinggung adalah dia menyebut Bandung kota babi. Kemudian ada beberapa orang yang memberikan komentar di blog tersebut dan meminta orang ini untuk kembali ke negaranya. Yang saya heran, yang meminta maaf dan merasa malu bukan orang yang memaki penulis blog ini, tetapi orang lain yang merasa harus mewakili mereka yang membuang sampah sembarangan, mereka yang tersinggung , mereka yang marah-marah, dan intinya siapapun yang sama-sama orang Indonesia. Sejak kapan kita harus selalu bertanggungjawab atas apapun yang dilakukan oleh sesama orang Indonesia terhadap bule? Karena saya yakin dia tidak akan meminta maaf kalau yang menulis blog adalah orang Indonesia atau orang Malaysia, misalnya. Dia bahkan berterimakasih kepada penulis blog yang sudah secara tidak langsung menyebutnya babi. Sampai kapan kita harus jadi seperti budak yang selalu ketakutan berbuat salah kepada majikan? Saya ingat salah seorang teman saya pernah bilang, “Kan malu sama bule-bule itu.”, kebetulan kami sedang sama-sama di Jerman dan saat itu tengah membahas kelakuan seorang pelajar lain yang sama-sama dari Indonesia. Saya kira bangsa ini sudah merdeka, tetapi mentalnya masih terjajah. 

Bukan hanya itu, saya juga sering mendengar bahwa sudah saatnya kita melestarikan budaya tradisional karena banyak orang asing yang berminat untuk belajar. Bukankah keinginan untuk melestarikan budaya harus datang dari diri sendiri dan bukan untuk menyenangkan orang lain yang bahkan bukan tumbuh dari budaya tersebut. Ada apa dengan keharusan berdandan secantik mungkin demi orang lain seperti pelacur yang menunggu pelanggan?

Belum lagi penggambaran cantik atau tampan di negara ini sama dengan putih, mancung, tinggi dan bermata besar. Ironisnya lagi, ini adalah negara yang sama di mana isu ras dan agama masih laku dijual pada pemilihan kepala daerah atau kepala negara. Beberapa orang bahkan membuat front atau laskar berdasarkan suku dan agama. Tidak, bukan di situ masalahnya.

Ini bukan masalah anti-bule atau nasionalisme, ini masalah mentalitas. Saya tidak merasa harus meminta maaf atau berterima kasih karena saya tidak melihat diri saya sebagai orang Indonesia yang harus selalu memberikan citra terbaik bangsa Indonesia di depan para bule. Saya adalah seorang individu bernama Novia dengan segala macam kekurangan dan kelebihannya yang tidak selalu berkaitan dengan kebangsaan atau kewarganegaraan saya. Begitu pula saya melihat bule bukan sebagai satu spesies berbeda yang lebih tinggi derajatnya dan lebih cakep atau ganteng secara fisik, tetapi saya melihat masing-masing individu dengan segala kekurangan dan kelebihannya terlepas dari warna kulit, mata dan rambut. Saya hanya menolak untuk menjadi inferior.