Hari ini saya membaca
status teman saya dari Australia yang kebetulan sedang tinggal di Indonesia
bahwa ponselnya dicuri di kereta api. Saya rasa ini bukan hal yang mengejutkan
bagi mereka yang sudah mengenal situasi dan kondisi kereta api di Indonesia. Saya
salah satu yang tidak terkejut. Akan tetapi yang membuat saya terkejut adalah
ketika ada satu orang Indonesia berkomentar dan meminta maaf kepada teman saya
atas apa yang telah menimpa dirinya. Saya bertanya-tanya, minta maaf untuk apa?
Karena kata “minta maaf” dalam Bahasa Indonesia apabila diterjemahkan ke dalam
Bahasa Inggris, artinya bukan “I am sorry” tetapi “I apologize”. Dan yang saya
pertanyakan adalah “What for?”. Saya rasa alasan yang baik untuk memintamaaf
adalah apabila dia orang yang mencuri ponsel teman saya, tetapi saya meragukan bahwa
dia adalah si pencuri ponsel. Artinya, orang ini meminta maaf atas hal buruk
yang terjadi kepada orang “bule” di negaranya. Tetapi ini belum betul-betul
menjawab pertanyaan saya, untuk apa?
Kemudian saya mencoba
mengingat-ingat kembali kejadian serupa, yaitu tentang blog yang ditulis orang bule
yang tinggal di Bandung mengenai keluhannya terhadap sistem pembuangan sampah
di Bandung. Mengeluh atau mengkritik, tentu tidak masalah. Tetapi yang membuat
banyak orang tersinggung adalah dia menyebut Bandung kota babi. Kemudian ada
beberapa orang yang memberikan komentar di blog tersebut dan meminta orang ini
untuk kembali ke negaranya. Yang saya heran, yang meminta maaf dan merasa malu
bukan orang yang memaki penulis blog ini, tetapi orang lain yang merasa harus
mewakili mereka yang membuang sampah sembarangan, mereka yang tersinggung , mereka
yang marah-marah, dan intinya siapapun yang sama-sama orang Indonesia. Sejak
kapan kita harus selalu bertanggungjawab atas apapun yang dilakukan oleh sesama
orang Indonesia terhadap bule? Karena saya yakin dia tidak akan meminta maaf
kalau yang menulis blog adalah orang Indonesia atau orang Malaysia, misalnya. Dia
bahkan berterimakasih kepada penulis blog yang sudah secara tidak langsung
menyebutnya babi. Sampai kapan kita harus jadi seperti budak yang selalu
ketakutan berbuat salah kepada majikan? Saya ingat salah seorang teman saya
pernah bilang, “Kan malu sama bule-bule itu.”, kebetulan kami sedang sama-sama
di Jerman dan saat itu tengah membahas kelakuan seorang pelajar lain yang
sama-sama dari Indonesia. Saya kira bangsa ini sudah merdeka, tetapi mentalnya
masih terjajah.
Bukan hanya itu, saya
juga sering mendengar bahwa sudah saatnya kita melestarikan budaya tradisional
karena banyak orang asing yang berminat untuk belajar. Bukankah keinginan untuk
melestarikan budaya harus datang dari diri sendiri dan bukan untuk menyenangkan
orang lain yang bahkan bukan tumbuh dari budaya tersebut. Ada apa dengan
keharusan berdandan secantik mungkin demi orang lain seperti pelacur yang
menunggu pelanggan?
Belum lagi penggambaran
cantik atau tampan di negara ini sama dengan putih, mancung, tinggi dan bermata besar. Ironisnya lagi, ini adalah negara yang sama di mana isu ras dan agama
masih laku dijual pada pemilihan kepala daerah atau kepala negara. Beberapa
orang bahkan membuat front atau laskar berdasarkan suku dan agama. Tidak, bukan
di situ masalahnya.
Ini bukan masalah
anti-bule atau nasionalisme, ini masalah mentalitas. Saya tidak merasa harus
meminta maaf atau berterima kasih karena saya tidak melihat diri saya sebagai
orang Indonesia yang harus selalu memberikan citra terbaik bangsa Indonesia di
depan para bule. Saya adalah seorang individu bernama Novia dengan segala macam
kekurangan dan kelebihannya yang tidak selalu berkaitan dengan kebangsaan atau
kewarganegaraan saya. Begitu pula saya melihat bule bukan sebagai satu spesies
berbeda yang lebih tinggi derajatnya dan lebih cakep atau ganteng secara fisik,
tetapi saya melihat masing-masing individu dengan segala kekurangan dan
kelebihannya terlepas dari warna kulit, mata dan rambut. Saya hanya menolak untuk
menjadi inferior.