Halo! Selamat datang di asbak saya :)

Rabu, 07 Agustus 2013

17 Menit Terpanjang dalam Hidup Mamat

Dengan mata membelalak dan tusukan di leher yang tidak berhenti-henti mengeluarkan darah. Mamat, 42 tahun, seorang satpam di sebuah toko roti yang tidak terkenal di Jakarta, mengalami 17 menit terpanjang dan terakhir dalam hidupnya.

Kejadian perampokan oleh para penjahat amatir yang baru saja ia alami terjadi begitu cepat. Tiga orang lelaki yang tinggal di kampung yang terletak di belakang jalan tempat toko roti tempat Mamat bekerja datang dengan bersenjatakan golok, cutter, dan pisau dapur yang tidak terlalu tajam. Pisau dapur terkutuk tersebut lah yang akhirnya ditusukkan ke leher Mamat setelah ia dengan paniknya berkata, “Bukan saya yang punya uang, Bang! Ampun, Bang! Saya hanya punya kunci garasi saja, kunci toko dibawa oleh pegawai lain.”

Awalnya, salah seorang perampok yang memegang pisau dapur hanya mau menggertak saja. Namun rasa panik Mamat memicu keinginan perampok, yang bahkan tidak sempat Mamat ingat wajahnya, untuk menggertak lebih. Dan pisau itu pun begitu saja menusuk mengenai urat leher Mamat. Mengetahui korbannya tertusuk, ketiga perampok amatir itu lari tunggang langgang meninggalkan Mamat yang teraduh-aduh dan terjatuh sambil memegang lehernya yang terluka.

“Sial,” umpat Mamat dalam hatinya. Ia pun rebah, menatap langit-langit garasi toko roti tempat ia bekerja selama 3 tahun terakhir. Matanya membelalak ke lampu garasi yang remang-remang. Kemudian ia berpikir, andai saja ia pulang ke kampungnya di Kuningan, Jawa Barat, ia tidak perlu mengalami kejadian sial ini. Paling-paling ia hanya perlu menutup telinga mendengar keluhan sanak keluarga yang tidak pernah ia bagi uang. Tetapi karena memutuskan untuk tetap di Jakarta, demi menghindari keluhan keluarga di kampung keparatnya dan demi mendapatkan uang lebih untuk bekerja saat Lebaran ini lah, ia sekarang terkapar di garasi kosong tanpa seorang pun yang menolong.
Sayup-sayup terdengar HP-nya berdering. Itu pasti Ani, istrinya yang gemuk dan selalu curiga ia sedang bersama perempuan lain. Mamat mulai banyak kehabisan darah, ia tidak bisa bergerak. Ia hanya bisa membayangkan istrinya sedang mengumpat tempat kost sempit mereka. Di tangannya yang berlumur darah masih dapat ia rasakan lipatan lemak di perut istrinya dan sumpahan-sumpahan yang keluar dari mulut perempuan itu karena Mamat tidak mengangkat telepon. Kemudian ia teringat Nina, bekas pacarnya yang pernah ia perawani dan tinggalkan di kampung. Ia teringat kalimat terakhir yang ia ucapkan kepada Nina sebelum ia berangkat ke Jakarta. “Aa akan pulang dan menikahimu, Neng. Aa cinta mati sama kamu.” Sebulan kemudian ia bertemu dengan Ani, janda montok beranak dua. Dua bulan kemudian ia menikahi Ani. Mungkin Nina sekarang sudah menikah dengan bandot tua yang punya kambing lima. Mungkin nasibnya tidak sesial ini kalau ia menikah dengan Nina. Kalau ia selamat, ucap Mamat dalam hati, ia akan menemui Nina dan meminta maaf. Namun ia tahu, ia tidak akan mengucapkan maaf kepada Nina kalau dia selamat. Terlebih lagi, ia mulai pesimis akan selamat.

Mamat mulai merasakan dingin menjalar di tubuhnya. Satu-satunya bagian tubuh yang masih terasa hangat adalah leher dan sekitar yang bermandikan darah segarnya. Ia semakin sulit menggerakkan tubuhnya. Kemudian ia mulai mengutuki perampok amatir yang menusuk lehernya. Andai saja pisau tersebut diasah lebih tajam, mungkin ia tidak perlu melalui penderitaan panjang seperti ini. Sekarang ia teringat si Tompel, tukang rokok dekat toko roti tempat ia bekerja. Sesekali Tompel sering mampir ke garasi, meminjam koran Lampu Hijau yang biasa Mamat taruh di atas meja kecilnya. Kemudian Tompel akan membahas panjang lebar salah satu artikel di halaman pertama koran tersebut yang judulnya paling mesum. Ia pun teringat tahi lalat di pipi si Tompel dan Mamat cengengesan. Ia sangat berharap temannya tersebut akan mampir ke tempatnya saat ini. Saat ia berharap itu lah ia teringat tadi siang Mamat sudah pamit untuk pulang kampung ke Bogor. Kalau saja dengan segala keajaiban Tompel tiba-tiba muncul di garasi, ia berjanji akan menanyakan nama asli si Tompel. Akan tetapi keajaiban adalah barang langka dalam hidup ini, kecuali dalam TV. Mamat pun mengutuki temannya dalam hati.

Ia mulai merasa sulit mengedipkan matanya sehingga matanya mulai kering seperti kutex yang dioleskan Linda, anak tirinya dari Ani, di kuku-kuku mungilnya. Linda yang masih SMA. Linda yang mulai montok seperti ibunya lima tahun lalu. Linda yang.. Ah, desah Mamat dalam hati, kalau saja ia tahu hidupnya akan berakhir sesingkat dan setragis ini, mungkin akan ia gauli juga si Linda itu. Biar saja ibunya memotong penis Mamat. Akan tetapi saat ini mungkin Linda sedang pacaran dengan Faizal, preman Kali Pasir yang mengajaknya kenalan di depan Museum Fatahillah bulan lalu.
Mamat kemudian teringat masa kecilnya di kampung. Dulu ia sering menangkap kodok bersama Maman, teman dekat masa kecilnya yang mati tenggelam di kali. Biasa ia dan Maman akan menggunakan tusuk sate untuk menusuk kodok yang mereka tangkap. Kodok-kodok tersebut biasa lama matinya, ia dan Maman biasa mengadu kodok siapa yang lebih lama matinya. Ia teringat betapa lama kodok tersebut harus menderita sebelum mati. Mamat ketakutan. Jangan-jangan ini hukuman dari kodok-kodok yang ia siksa semasa ia kecil. Mamat menangis karena takut. Dengan bibir yang gemetar, ia berkata lemah, “maafkan saya, kodok. Saya minta ampun.” Semenit setelah menangis, Mamat merasa bodoh sendiri. Kemudian ia mulai berdoa kepada Tuhannya. Sayup-sayup ia mendengar suara ayahnya memanggil pulang, “Mat, udah maghrib, sini pulang!” Gambar yang ia lihat dari matanya yang semakin kering mulai menggelap.

Ia terbangun, ternyata ia masih terkapar di garasi. Rasa sakit yang teramat sangat mulai menyerang tubuhnya yang dingin. Rasanya seperti seluruh urat dalam tubuhnya ditusuk jarum infus. Ya, ia pernah sekali dirawat di rumah sakit dan diinfus karena keracunan makanan. Bulir-bulir keringat sebesar biji jagung terasa berjatuhan dari keningnya. Mamat mendengar suara bayi menangis. Mungkin suara itu tidak nyata, batinnya dalam hati. Dan suara tersebut pelan-pelan menghilang, bersamaan dengan Mamat meregang nyawa. Kata-kata terakhir yang keluar dari mulutnya adalah, “kodok kampret.” Namun tidak seorang pun mendengarnya. Tidak seekor kodok atau seekor kampret pun mendengarnya.

Keesokannya harinya berita tentang perampokan gagal pun muncul dalam satu kolom kecil sepanjang satu paragraf di bukan halaman pertama koran Lampu Hijau. Tiga hari kemudian Tompel balik dari kampung dan menyebarkan cerita kepada para pegawai toko roti bahwa ia melihat hantu Mamat di garasi. Seminggu kemudian sebuah toko roti tidak terkenal di Jakarta mempekerjakan satpam baru. Dua bulan kemudian Ani menikah dengan tetangga yang bekerja sebagai tukang ojek bernama Yunus. Disusul Linda yang menikah dengan Faizal karena hamil sebulan kemudian. Dan seorang perempuan bernama Nina sedang menyusui anak keduanya yang ia berinama Mamat di suatu kampung di Kuningan.