Halo! Selamat datang di asbak saya :)

Jumat, 06 Maret 2015

Heil Belang!

Sometimes it only takes one photo of a cat to wash away the uncomfortable feeling that you get from being trapped in a second-hand drama.

Selasa, 19 Agustus 2014

Kenapa minta maaf?



Hari ini saya membaca status teman saya dari Australia yang kebetulan sedang tinggal di Indonesia bahwa ponselnya dicuri di kereta api. Saya rasa ini bukan hal yang mengejutkan bagi mereka yang sudah mengenal situasi dan kondisi kereta api di Indonesia. Saya salah satu yang tidak terkejut. Akan tetapi yang membuat saya terkejut adalah ketika ada satu orang Indonesia berkomentar dan meminta maaf kepada teman saya atas apa yang telah menimpa dirinya. Saya bertanya-tanya, minta maaf untuk apa? Karena kata “minta maaf” dalam Bahasa Indonesia apabila diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, artinya bukan “I am sorry” tetapi “I apologize”. Dan yang saya pertanyakan adalah “What for?”. Saya rasa alasan yang baik untuk memintamaaf adalah apabila dia orang yang mencuri ponsel teman saya, tetapi saya meragukan bahwa dia adalah si pencuri ponsel. Artinya, orang ini meminta maaf atas hal buruk yang terjadi kepada orang “bule” di negaranya. Tetapi ini belum betul-betul menjawab pertanyaan saya, untuk apa? 
 
Kemudian saya mencoba mengingat-ingat kembali kejadian serupa, yaitu tentang blog yang ditulis orang bule yang tinggal di Bandung mengenai keluhannya terhadap sistem pembuangan sampah di Bandung. Mengeluh atau mengkritik, tentu tidak masalah. Tetapi yang membuat banyak orang tersinggung adalah dia menyebut Bandung kota babi. Kemudian ada beberapa orang yang memberikan komentar di blog tersebut dan meminta orang ini untuk kembali ke negaranya. Yang saya heran, yang meminta maaf dan merasa malu bukan orang yang memaki penulis blog ini, tetapi orang lain yang merasa harus mewakili mereka yang membuang sampah sembarangan, mereka yang tersinggung , mereka yang marah-marah, dan intinya siapapun yang sama-sama orang Indonesia. Sejak kapan kita harus selalu bertanggungjawab atas apapun yang dilakukan oleh sesama orang Indonesia terhadap bule? Karena saya yakin dia tidak akan meminta maaf kalau yang menulis blog adalah orang Indonesia atau orang Malaysia, misalnya. Dia bahkan berterimakasih kepada penulis blog yang sudah secara tidak langsung menyebutnya babi. Sampai kapan kita harus jadi seperti budak yang selalu ketakutan berbuat salah kepada majikan? Saya ingat salah seorang teman saya pernah bilang, “Kan malu sama bule-bule itu.”, kebetulan kami sedang sama-sama di Jerman dan saat itu tengah membahas kelakuan seorang pelajar lain yang sama-sama dari Indonesia. Saya kira bangsa ini sudah merdeka, tetapi mentalnya masih terjajah. 

Bukan hanya itu, saya juga sering mendengar bahwa sudah saatnya kita melestarikan budaya tradisional karena banyak orang asing yang berminat untuk belajar. Bukankah keinginan untuk melestarikan budaya harus datang dari diri sendiri dan bukan untuk menyenangkan orang lain yang bahkan bukan tumbuh dari budaya tersebut. Ada apa dengan keharusan berdandan secantik mungkin demi orang lain seperti pelacur yang menunggu pelanggan?

Belum lagi penggambaran cantik atau tampan di negara ini sama dengan putih, mancung, tinggi dan bermata besar. Ironisnya lagi, ini adalah negara yang sama di mana isu ras dan agama masih laku dijual pada pemilihan kepala daerah atau kepala negara. Beberapa orang bahkan membuat front atau laskar berdasarkan suku dan agama. Tidak, bukan di situ masalahnya.

Ini bukan masalah anti-bule atau nasionalisme, ini masalah mentalitas. Saya tidak merasa harus meminta maaf atau berterima kasih karena saya tidak melihat diri saya sebagai orang Indonesia yang harus selalu memberikan citra terbaik bangsa Indonesia di depan para bule. Saya adalah seorang individu bernama Novia dengan segala macam kekurangan dan kelebihannya yang tidak selalu berkaitan dengan kebangsaan atau kewarganegaraan saya. Begitu pula saya melihat bule bukan sebagai satu spesies berbeda yang lebih tinggi derajatnya dan lebih cakep atau ganteng secara fisik, tetapi saya melihat masing-masing individu dengan segala kekurangan dan kelebihannya terlepas dari warna kulit, mata dan rambut. Saya hanya menolak untuk menjadi inferior.

Minggu, 22 Juni 2014

Satu rokok lagi ya?



Kata-kata yang terlalu sering diungkapkan akan terkikis maknanya,
Begitu pula dengan makna kenangan yang terlalu sering diputar ulang di dalam pikiran.
Sebelum hidup pelan-pelan kembali menjadi biasa-biasa saja,
Izinkan aku untuk membakar satu rokok lagi,
Dan membiarkan makna terbakar habis bersama rokok ini.
Puntung rokok ini akan menjadi saksi terakhir dari semua makna yang pernah kita buat,
Setidaknya dia tidak akan melecehkan kenangan,
Dan dia akan berakhir di tempat pembuangan sampah,
Atau mungkin terdampar di asbak yang tidak pernah dibersihkan ini,
Yang pasti bukan urusan kita.
Bukan urusan aku atau kamu lagi.

Rabu, 07 Agustus 2013

17 Menit Terpanjang dalam Hidup Mamat

Dengan mata membelalak dan tusukan di leher yang tidak berhenti-henti mengeluarkan darah. Mamat, 42 tahun, seorang satpam di sebuah toko roti yang tidak terkenal di Jakarta, mengalami 17 menit terpanjang dan terakhir dalam hidupnya.

Kejadian perampokan oleh para penjahat amatir yang baru saja ia alami terjadi begitu cepat. Tiga orang lelaki yang tinggal di kampung yang terletak di belakang jalan tempat toko roti tempat Mamat bekerja datang dengan bersenjatakan golok, cutter, dan pisau dapur yang tidak terlalu tajam. Pisau dapur terkutuk tersebut lah yang akhirnya ditusukkan ke leher Mamat setelah ia dengan paniknya berkata, “Bukan saya yang punya uang, Bang! Ampun, Bang! Saya hanya punya kunci garasi saja, kunci toko dibawa oleh pegawai lain.”

Awalnya, salah seorang perampok yang memegang pisau dapur hanya mau menggertak saja. Namun rasa panik Mamat memicu keinginan perampok, yang bahkan tidak sempat Mamat ingat wajahnya, untuk menggertak lebih. Dan pisau itu pun begitu saja menusuk mengenai urat leher Mamat. Mengetahui korbannya tertusuk, ketiga perampok amatir itu lari tunggang langgang meninggalkan Mamat yang teraduh-aduh dan terjatuh sambil memegang lehernya yang terluka.

“Sial,” umpat Mamat dalam hatinya. Ia pun rebah, menatap langit-langit garasi toko roti tempat ia bekerja selama 3 tahun terakhir. Matanya membelalak ke lampu garasi yang remang-remang. Kemudian ia berpikir, andai saja ia pulang ke kampungnya di Kuningan, Jawa Barat, ia tidak perlu mengalami kejadian sial ini. Paling-paling ia hanya perlu menutup telinga mendengar keluhan sanak keluarga yang tidak pernah ia bagi uang. Tetapi karena memutuskan untuk tetap di Jakarta, demi menghindari keluhan keluarga di kampung keparatnya dan demi mendapatkan uang lebih untuk bekerja saat Lebaran ini lah, ia sekarang terkapar di garasi kosong tanpa seorang pun yang menolong.
Sayup-sayup terdengar HP-nya berdering. Itu pasti Ani, istrinya yang gemuk dan selalu curiga ia sedang bersama perempuan lain. Mamat mulai banyak kehabisan darah, ia tidak bisa bergerak. Ia hanya bisa membayangkan istrinya sedang mengumpat tempat kost sempit mereka. Di tangannya yang berlumur darah masih dapat ia rasakan lipatan lemak di perut istrinya dan sumpahan-sumpahan yang keluar dari mulut perempuan itu karena Mamat tidak mengangkat telepon. Kemudian ia teringat Nina, bekas pacarnya yang pernah ia perawani dan tinggalkan di kampung. Ia teringat kalimat terakhir yang ia ucapkan kepada Nina sebelum ia berangkat ke Jakarta. “Aa akan pulang dan menikahimu, Neng. Aa cinta mati sama kamu.” Sebulan kemudian ia bertemu dengan Ani, janda montok beranak dua. Dua bulan kemudian ia menikahi Ani. Mungkin Nina sekarang sudah menikah dengan bandot tua yang punya kambing lima. Mungkin nasibnya tidak sesial ini kalau ia menikah dengan Nina. Kalau ia selamat, ucap Mamat dalam hati, ia akan menemui Nina dan meminta maaf. Namun ia tahu, ia tidak akan mengucapkan maaf kepada Nina kalau dia selamat. Terlebih lagi, ia mulai pesimis akan selamat.

Mamat mulai merasakan dingin menjalar di tubuhnya. Satu-satunya bagian tubuh yang masih terasa hangat adalah leher dan sekitar yang bermandikan darah segarnya. Ia semakin sulit menggerakkan tubuhnya. Kemudian ia mulai mengutuki perampok amatir yang menusuk lehernya. Andai saja pisau tersebut diasah lebih tajam, mungkin ia tidak perlu melalui penderitaan panjang seperti ini. Sekarang ia teringat si Tompel, tukang rokok dekat toko roti tempat ia bekerja. Sesekali Tompel sering mampir ke garasi, meminjam koran Lampu Hijau yang biasa Mamat taruh di atas meja kecilnya. Kemudian Tompel akan membahas panjang lebar salah satu artikel di halaman pertama koran tersebut yang judulnya paling mesum. Ia pun teringat tahi lalat di pipi si Tompel dan Mamat cengengesan. Ia sangat berharap temannya tersebut akan mampir ke tempatnya saat ini. Saat ia berharap itu lah ia teringat tadi siang Mamat sudah pamit untuk pulang kampung ke Bogor. Kalau saja dengan segala keajaiban Tompel tiba-tiba muncul di garasi, ia berjanji akan menanyakan nama asli si Tompel. Akan tetapi keajaiban adalah barang langka dalam hidup ini, kecuali dalam TV. Mamat pun mengutuki temannya dalam hati.

Ia mulai merasa sulit mengedipkan matanya sehingga matanya mulai kering seperti kutex yang dioleskan Linda, anak tirinya dari Ani, di kuku-kuku mungilnya. Linda yang masih SMA. Linda yang mulai montok seperti ibunya lima tahun lalu. Linda yang.. Ah, desah Mamat dalam hati, kalau saja ia tahu hidupnya akan berakhir sesingkat dan setragis ini, mungkin akan ia gauli juga si Linda itu. Biar saja ibunya memotong penis Mamat. Akan tetapi saat ini mungkin Linda sedang pacaran dengan Faizal, preman Kali Pasir yang mengajaknya kenalan di depan Museum Fatahillah bulan lalu.
Mamat kemudian teringat masa kecilnya di kampung. Dulu ia sering menangkap kodok bersama Maman, teman dekat masa kecilnya yang mati tenggelam di kali. Biasa ia dan Maman akan menggunakan tusuk sate untuk menusuk kodok yang mereka tangkap. Kodok-kodok tersebut biasa lama matinya, ia dan Maman biasa mengadu kodok siapa yang lebih lama matinya. Ia teringat betapa lama kodok tersebut harus menderita sebelum mati. Mamat ketakutan. Jangan-jangan ini hukuman dari kodok-kodok yang ia siksa semasa ia kecil. Mamat menangis karena takut. Dengan bibir yang gemetar, ia berkata lemah, “maafkan saya, kodok. Saya minta ampun.” Semenit setelah menangis, Mamat merasa bodoh sendiri. Kemudian ia mulai berdoa kepada Tuhannya. Sayup-sayup ia mendengar suara ayahnya memanggil pulang, “Mat, udah maghrib, sini pulang!” Gambar yang ia lihat dari matanya yang semakin kering mulai menggelap.

Ia terbangun, ternyata ia masih terkapar di garasi. Rasa sakit yang teramat sangat mulai menyerang tubuhnya yang dingin. Rasanya seperti seluruh urat dalam tubuhnya ditusuk jarum infus. Ya, ia pernah sekali dirawat di rumah sakit dan diinfus karena keracunan makanan. Bulir-bulir keringat sebesar biji jagung terasa berjatuhan dari keningnya. Mamat mendengar suara bayi menangis. Mungkin suara itu tidak nyata, batinnya dalam hati. Dan suara tersebut pelan-pelan menghilang, bersamaan dengan Mamat meregang nyawa. Kata-kata terakhir yang keluar dari mulutnya adalah, “kodok kampret.” Namun tidak seorang pun mendengarnya. Tidak seekor kodok atau seekor kampret pun mendengarnya.

Keesokannya harinya berita tentang perampokan gagal pun muncul dalam satu kolom kecil sepanjang satu paragraf di bukan halaman pertama koran Lampu Hijau. Tiga hari kemudian Tompel balik dari kampung dan menyebarkan cerita kepada para pegawai toko roti bahwa ia melihat hantu Mamat di garasi. Seminggu kemudian sebuah toko roti tidak terkenal di Jakarta mempekerjakan satpam baru. Dua bulan kemudian Ani menikah dengan tetangga yang bekerja sebagai tukang ojek bernama Yunus. Disusul Linda yang menikah dengan Faizal karena hamil sebulan kemudian. Dan seorang perempuan bernama Nina sedang menyusui anak keduanya yang ia berinama Mamat di suatu kampung di Kuningan.

Kamis, 06 Juni 2013

Babi dan Langit

Langit sore dan gedung mall yang lengkap dengan monitor iklan raksasa di badannya terlihat begitu kontras sekaligus sepadan.

Langit adalah pemandangan paling netral di kota ini dan mall adalah salah satu dari sekian banyak magnetnya macet.

Kalau punya kesempatan untuk terjebak di tengah kemacetan Jakarta lagi (dan ini bukan fenomena langka bagi mereka yang tinggal di Jakarta), coba perhatikan wajah orang-orang senasib di sekitar kalian.

Mereka marah, lelah, penuh keluhan, cemas, sesekali melihat jam atau sibuk dengan smartphone mereka, sesekali menghela nafas, tidak jarang ada yang berdecak kesal, dan yang paling gawat (menurut saya) kalau ada sekumpulan orang yang masih sibuk ngobrol soal gosip kantor.

Oh ya, sesuai dengan judul postingan kali ini, apa kaitannya babi dengan langit?

Saya pernah membaca bahwa secara fisik tidak mungkin seekor babi dapat melihat langit.

Babi juga punya banyak kesamaan dengan manusia, misalnya saja jantung dan kulit mereka.

Kawan saya pernah bilang, “makanya kulit babi dipakai untuk latihan tato.”

Kemudian, apakah babi marah, mengeluh, cemas dan bergosip juga?

Tidak tahu, tetapi selagi tidak ada halangan secara fisik untuk melihat langit, cobalah sesekali melakukannya, mungkin Anda bisa tersenyum.

Senin, 13 Mei 2013

Bakpao

10.30 malam.
Sayup-sayup terdengar suara penjual bakpao lewat di gang rumahku.
Aku mengintip dari balkon.
Pemandangan yang indah.
Penjual bakpao dengan gerobak sepedanya dan lampu menyala di gang rumahku yang sudah gelap.
Jauh lebih indah dari perempuan berwajah plastik yang dibungkus barang bermerek di mall.
Perempuan-perempuan yang berusaha terlalu keras untuk dilihat.
Aku memanggil penjual bakpao yang nyaris magis itu.
Meminta satu bakpao isi kacang hitam.
Ia membuka pengukusnya, dan mengambil bakpao isi kacang hitam yang masih mengepul dan ditaruhnya dalam bungkus kertas warna coklat keabuan.
Aku menyerahkan uang.
Kami saling mengucap terima kasih.
Bapak berwajah ramah itu pergi dengan mengayuh gerobak sepedanya.
Aku kembali ke dalam rumah.
Hariku sudah hampir selesai.
Hari Bapak Bakpao masih panjang.
Sekarang di tanganku ada bakpao putih dengan titik hijau di atasnya.
Bakpao yang hangat.
Indah sekali.
Dan badan yang langsing tidak bisa menggantikan perasaan ini.
Persetan dengan diet.
Aku tidak punya sedikitpun alasan untuk mengeluh malam ini.
Tidak malam ini.

Selasa, 16 April 2013

So you think you are normal?

Istri salah seorang teman saya baru saja melahirkan anak perempuan pertama mereka. Tidak ada yang aneh memang. Yang menarik perhatian saya adalah status-status Facebook teman saya. Begini bunyinya: "Wah mulai sekarang harus membiasakan diri berbagi ranjang dengan dua perempuan cantik" dan "Nyot nyot dikenyotnyot". Sebut saya gila, tetapi saya melihat sexual desire teman saya, baik terhadap istrinya yang sedang menyusui, maupun terhadap anak perempuannya yang baru lahir. Sama seperti ketika saya melihat status-status Facebook sepupu saya, yang kebetulan berkecimpung di dunia hobi pelihara ular, reptil dan sejenisnya. Saya melihat bagaimana ia mencoba menggambarkan ular peliharaannya sebagai penis di dalam status-status facebook-nya. Sayang sekali saya lupa bagaimana persisnya bunyi status Facebook dia. Saya bahkan mengingat sepupu saya, yang kebetulan perempuan ini, berbicara kepada keponakan saya, yang kebetulan anak laki-laki yang sedang beranjak dewasa, "Kamu sekarang ganteng ya, kalau bukan keponakan sudah aku jadikan pacar." Dan saya percaya betul sepupu saya, walau tidak secara terang-terangan, tertarik secara seksual kepada keponakan saya. Anda bebas berpendapat tentunya. Oh ya, hari ini saya juga menemukan sesuatu yang menurut saya aneh, yaitu kadal berbentuk cacing. Ini fotonya:


Apa si kadal merasa dirinya aneh? Seberani apa dia untuk jujur?